Seberapa
penting Anda memandang profesi dokter? Apakah Anda memandang profesi
dokter itu adalah “menakutkan”, “kejam”, atau yang lainnya? Pernahkah
Anda menyadari keluhan-keluhan yang pernah Anda sampaikan kepada mereka
(walaupun hal kecil) merupakan tanggung jawab yang besar bagi mereka?
Pertama-tama,
izinkan saya mengapresiasi para dokter di seluruh dunia atas tanggung
jawab dan pengabdiannya selama ini kepada masyarakat. Dokter dalam
kiprahnya saat ini dan masa mendatang seyogianya menerapkan dalam
perannya sebagai “pemimpin-intelektual-profesional”, yang tugasnya
antara lain sebagai agent of treatment, agent of change, dan agent of development. WHO pada tahun 1994 mengidentifikasikan kiprah ini dan menyebutnya sebagai “the five star doctors”, yaitu community leader, communicator, manager, decision maker, dan care provider.
Pada
dasarnya, dokter adalah bagian dari kelompok intelektual yang dalam
menjalankan profesinya langsung berhadapan atau berada di tengah
masyarakat dan dibekali nilai profesi yang menjadi kompas dalam segala
tindakannya. Nilai profesi itu antara lain adalah kemanusiaan, etika dan
kompetensi. Nilai profesi ini yang menjadi dasar keprofesian dokter
dalam menjalankan profesionalismenya. Di mana pun dokter ditempatkan,
selayaknya dia menjalankan peran intelektual profesional.
Sejarah Ilmu Kedokteran dan Dokter Pertama
Ketika
era kegelapan mencengkeram Barat pada abad pertengahan, perkembangan
ilmu kedokteran diambil alih dunia Islam yang tengah berkembang pesat di
Timur Tengah. Menurut Dr. Ezzat Abouleish, MD dalam tulisannya yang
berjudul Contributions of Islam to Medicine,
seperti halnya ilmu-ilmu yang lain, perkembangan kedokteran Islam
melalui tiga periode pasang-surut. Periode pertama dimulai dengan
gerakan penerjemahan literatur kedokteran dari Yunani dan bahasa lainnya
ke dalam bahasa Arab yang berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-8
Masehi. Pada masa ini, sarjana dari Suriah dan Persia secara gemilang
dan jujur menerjemahkan literatur dari Yunani dan Suriah ke dalam bahasa
Arab.
Buah
pikiran para tabib di era Yunani Kuno secara gencar dialihbahasakan.
Adalah Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah yang mendorong para
sarjana untuk berlomba-lomba menerjemahkan literatur penting ke dalam
bahasa Arab. Khalifah pun menawarkan bayaran yang sangat tinggi berupa
emas, bagi para sarjana yang bersedia untuk menerjemahkan karya-karya
kuno.
Sejumlah
sarjana terkemuka ikut ambil bagian dalam proses transfer pengetahuan
itu. Tercatat sejumlah tokoh seperti Judis Ibnu Bakhtisu, Yuhanna Ibnu
Masawaya, serta Hunain Ibnu Ishak ikut menerjemahkan literatur
kuno. Selain melibatkan sarjana-sarjana Islam, tak sedikit pula dari
para penerjemah itu yang beragama Non-Muslim. Mereka diperlakukan secara
terhormat oleh Khalifah pada masa itu.
Proses
transfer ilmu kedokteran yang berlangsung pada abad ke-7 dan ke-8 M
membuahkan hasil. Pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran
Islam berkembang begitu pesat. Sejumlah rumah sakit (RS) besar berdiri.
Pada masa kejayaan Islam, RS tak hanya berfungsi sebagai tempat
perawatan dan pengobatan para pasien, namun juga menjadi tempat menimba
ilmu para dokter baru. Sekolah kedokteran pertama yang dibangun umat
Islam adalah sekolah Jindi Shapur di kota Baghdad. Khalifah Al-Mansur
dari Dinasti Abbasiyah yang mendirikan Kota Baghdad mengangkat Judis
Ibnu Bahtishu sebagai dekan sekolah kedokteran itu. Pendidikan
kedokteran yang diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik.
Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka
seperti Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Al-Nafis, dan
Ibnu Maimun.
Al-Zahrawi
(930-1013 M) atau dikenal di Barat Albucasis. Dia adalah ahli bedah
terkemuka di Arab. Al-Zahrawi menempuh pendidikan di Universitas
Cordoba. Dia menjadi dokter istana pada masa Khalifah Abdul Rahman III.
Sebagian besar hidupnya didedikasikan untuk menulis buku-buku kedokteran
dan khususnya masalah bedah. Salah satu dari empat buku kedokteran yang
ditulisnya berjudul, ‘Al-Tastif Liman Ajiz’an Al-Ta’lif’ – ensiklopedia
ilmu bedah terbaik pada abad pertengahan. Buku itu digunakan di Eropa
hingga abad ke-17. Al-Zahrawi menerapkan cautery untuk mengendalikan
pendarahan. Dia juga menggunakan alkohol dan lilin untuk menghentikan
pendarahan dari tengkorak selama membedah tengkorak.
Dokter
Muslim yang juga sangat termasyhur adalah Ibnu Sina atau Avicenna
(980-1037 M). Salah satu kitab kedokteran fenomenal yang berhasil
ditulisnya adalah Al-Qanon fi Al-Tibb atau Canon of Medicine. Kitab itu
menjadi semacam ensiklopedia kesehatan dan kedokteran yang berisi satu
juta kata. Hingga abad ke-17, kitab itu masih menjadi referensi sekolah
kedokteran di Eropa.
Beberapa
nama dokter Muslim terkemuka yang juga mengembangkan ilmu kedokteran
antara lain; Ibnu Wafid Al-Lakhm, seorang dokter yang terkemuka di
Spanyol; Ibnu Tufails tabib yang hidup sekitar tahun 1100-1185 M; dan
Al-Ghafiqi, seorang tabib yang mengoleksi tumbuh-tumbuhan dari Spanyol
dan Afrika. Setelah abad ke-13 M, ilmu kedokteran yang dikembangkan
sarjana-sarjana Islam mengalami masa stagnasi. Perlahan kemudian surut
dan mengalami kemunduran, seiring runtuhnya era kejayaan Islam di abad
pertengahan.
Menapak Jejak Rumah Sakit Pertama Dalam Peradaban Islam
Konsep
rumah sakit pertama dalam peradaban Islam dibangun atas permintaan
Khalifah Al-Walid (705-715 M) dari Dinasti Umayyah. Pada awal didirikan,
keberadaan tempat perawatan yang dikenal dengan nama ‘Bimaristan’ itu
digunakan sebagai tempat isolasi bagi para penderita lepra yang saat itu
sedang merajalela. Namun, Rumah sakit Islam pertama yang sebenarnya
baru dibangun pada era kekuasaan Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M).
Rumah sakit tersebut berada di Kota Baghdad, pusat pemerintahan
kekhalifahan Islam saat itu. Rumah sakit ini dikepalai langsung oleh
Al-Razi, seorang dokter Muslim terkemuka yang juga merupakan dokter
pribadi khalifah.
Al-Razi
(841-926 M) dikenal di Barat dengan nama Razes. Pemilik nama lengkap
Abu Bakr Muhammad Ibnu Zakaria Al-Razi itu adalah dokter istana Pangeran
Abu Saleh Al-Mansur, penguasa Khurasan. Ia lalu pindah ke Baghdad dan
menjadi dokter pribadi sang khalifah. Salah satu buku kedokteran yang
dihasilkannya berjudul Al-Mansuri
(Liber Al-Mansofis). Ia menyoroti tiga aspek penting dalam kedokteran,
antara lain; kesehatan publik, pengobatan preventif, dan perawatan
penyakit khusus. Bukunya yang lain berjudul Al-Mursyid. Dalam buku itu, Al-Razi mengupas tentang pengobatan berbagai penyakit. Buku lainnya adalah Al-Hawi.
Buku yang terdiri dari 22 volume itu menjadi salah satu rujukan sekolah
kedokteran di Paris. Dia juga menulis tentang pengobatan cacar air.
Ia
menyoroti tiga aspek penting dalam kedokteran, antara lain; kesehatan
publik, pengobatan preventif, dan perawatan penyakit khusus. Bukunya
yang lain berjudul ‘Al-Murshid’. Dalam buku itu, Al-Razi mengupas
tentang pengobatan berbagai penyakit. Buku lainnya adalah ‘Al-Hawi’.
Buku yang terdiri dari 22 volume itu menjadi salah satu rujukan sekolah
kedokteran di Paris. Dia juga menulis tentang pengobatan cacar air.
Al-Razi
mencanangkan pembangunan Rumah Sakit di Baghdad yang juga sekaligus
sebagai tempat sekolah kedokteran di kala itu. Dikisahkan, sebelum
membangun rumah sakit, Al-Razi meletakkan potongan daging yang digantung
di beberapa tempat di wilayah sekitar aliran Sungai Tigris. Setelah
lama diletakkan, potongan daging itu baru membusuk. Menurut al-Razi, itu
menandakan bahwa tempat tersebut layak didirikan rumah sakit.
Rumah
sakit lainnya di Kota Baghdad adalah Al-Audidi yang didirikan pada
tahun 982 M. Nama tersebut diambil dari nama Khalifah Adud Ad-Daulah,
seorang khalifah dari Dinasti Buwaihi. Al-Audidi merupakan rumah sakit
dengan bangunan termegah dan terlengkap peralatannya pada masanya.
Bangunan rumah sakit yang ada di Baghdad, seperti sebuah istana yang
megah. Airnya dipasok dari Tigris dan semua perlengkapannya mirip istana
raja. Manajemen perawatan yang tertata rapi menjadi ciri khas rumah
sakit Al-Audidi. Para pasien juga dibedakan antara pasien inap dan rawat
jalan. Sayangnya, bangunan rumah sakit ini hancur bersamaan dengan
invasi tentara Tartar (Mongol) pimpinan Hulagu Khan yang menyerbu
Baghdad pada tahun 1258 M. Tak cuma Baghdad, di beberapa wilayah
lainnya, ilmu kedokteran Islam juga terus mengalami perkembangan. Di
Kota Al-Fustat (ibu kota Mesir lama), misalnya, dibangun sebuah rumah
sakit.
Khatimah
Peran
dokter saat ini harus dikembalikan kepada peran dokter yang dicontohkan
oleh para dokter muslim di era peradaban Islam dahulu. Dokter tidak
hanya menjadi agent of treatment, tapi juga harus menjadi emansipator untuk menularkan nilai profesi dan kecendekiawanannya sehingga membuatnya menjadikan agent of mental social changedan agent of development
demi kemajuan umat Islam. Di sektor kesehatan, para dokter diharapkan
melebarkan lapangan pengabdiannya dengan berkontribusi seluas-luasnya
dalam upaya menyehatkan elemen masyarakat secara komprehensif (fisik,
mental, dan sosial). Ketika ketiga aspek tersebut telah terpenuhi, maka
seorang dokter di manapun telah menjadi seorang pengabdi yang
benar-benar didambakan oleh umat. Wallahua’lam bish shawab. (HYP)
Sumber :
http://www.okisetianadewi.co.id/id/artikel/media-lain/1230-dokter-pengabdi-dambaan-umat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar